The Lion of Jehuda: Mempertanyakan Ulang Presbiterial GKJ Metal Set - Link Select

Jumat, 09 Maret 2012

Mempertanyakan Ulang Presbiterial GKJ

Sistem pemerintahan di sinode GKJ dikenal dengan nama PRESBITERIAL, dimana majelis gereja setempat (lokal) mempunyai otoritas sendiri untuk memimpin dan mendanai dirinya sendiri. Sistem pemerintahan ini terdiri tiga unsur yaitu Penatua, Pendeta, dan Diaken. Namun sistem pemerintahan ini berjalan bersama dengan Gereja-gereja Kristen Jawa lainnya, atau yang disebut dengan Synhodos atau Sinode, yang diwujudkan dengan Persidangan dan Visitasi. Dalam hal peraturan, GKJ membuat sebuah buku pegangan yang disebut dengan Tata Gereja dan Tata Laksana, aturan mengenai ke-gereja-an, mengenai Klasis, mengenai Sinode, diatur disana. Setelah saya mengikuti Koven Pendeta GKJ pada tanggal 8-9 Maret 2012 di Salib Putih Salatiga, ada hal yang mengganjal dalam hati saya, sebagai seorang pendeta jemaat GKJ Wiladeg. Disebutkan bahwa sistem pemerintahan GKJ adalah presbiterial, dimana gereja lokal mempunyai "kewenangan" penuh dalam mengatur gerejanya sendiri, namun terkadang gereja lokal tidak dapat "bergerak" karena terbatas dengan Tata Gereja dan Tata Laksana. Konsekwensi pelanggaran atas Tata Gereja dan Tata Laksana adalah PAMERDI. Beberapa gereja lain sudah merasakannya. Jika memang Tata Gereja dan Tata Laksana dipakai sebagai sebuah aturan yang mengikat, berarti sistem pemerintahan GKJ bukan presbiterial, namun sistemnya adalah SINODAL. Lalu bagaimanakah sebenarnya penerapan Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ, hanya sekedar acuan atau menjadi suatu hal yang mengikat? Misalnya, Tata Laksana menyebutkan bahwa seorang vikaris harus menjalani masa vikariat selama satu tahun. Kenyataannya ada gereja yang menjalani 10 bulan, namun ada juga gereja yang menjalani hanya 3 bulan. Yang menjalani 10 bulan tidak di-perdi, namun yang menjalani hanya 3 bulan kemuadian di-perdi. Padahal prinsipnya kedua sudah menyalahi aturan Tata Laksana GKJ. Menurut saya, jika memang sistem pemerintahan GKJ adalah presbiterial, baik Klasis maupun Sinode tetap memberikan keleluasaan bagi gereja lokal untuk mengekspresikan dirinya. Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ hanya sebagai acuan saja, bukan aturan yang mengikat. Jika memang ada hal "melenceng" dari Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ, bukan kemudian disikapi dengan "perdi", namun menurut saya perlu dikaji dan dicari akarnya, mengapa gereja lokal dianggap "melenceng". Saya yakin, gereja lokal mempunyai dasar atas "pelencengannya" tersebut. Kelemahannya, akhirnya memang bisa jadi, gereja lokal "seenaknya" menterjamahkan Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ sesuai dengan pandangan mereka sendiri. Menurut saya pribadi, mungkin sistem pemerintahan GKJ bukanlah murni Presbiterial, namun Presbiterial Sinodal. Gampangnya jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan GKJW, GKJ tidak mengalami mutasi pendeta yang dilakukan oleh Sinode. Dengan sistem pemerintahan Presbiterial Sinodal ini, gereja lokal tetap mempunyai kewenangan dalam hal mengatur dirinya sendiri, namun masih dalam kerangka ber-Sinode, artinya dalam mengatur dirinya sendiri, gereja lokal tetap memperhatikan apa yang menjadi keputusan bersama dalam Klasis maupun Sinode. Saya sebut keputusan bersama karena yang bersidang di Klasis maupun Sinode, merupakan utusan gereja-gereja lokal. Jadi aturan yang dibuat, merupakan kesepakatan bersama gereja-gereja lokal, yang tertuang dalam Tata Gereja, Tata Laksana, maupun dalam keputusan sidang Klasis dan Sinode. Nah, dengan sistem pemerintahan Presbiterial-Sinodal, jika memang ada gereja yang "melenceng" dari kesepakatan bersama, baik Klasis maupun Sinode mempunyai kewenangan untuk sekedar mengingatkan atas keputusan bersama, atau jika memang sudah kelewatan dari kesepakatan bersama, dan gereja lokal tidak bisa memberikan dasar yang kuat atas pelencengannya, baik Klasis maupun Sinode bisa "bertindak" untuk mengembalikan gereja lokal pada kesepakatan bersama. Yah, ini sekedar tulisan orang yang kurang berpengalaman saja.





Related Post:

0 komentar:

 
ans!!