The Lion of Jehuda: Bahan Kotbah 04 Maret 2012 Metal Set - Link Select

Jumat, 02 Maret 2012

Bahan Kotbah 04 Maret 2012

PERJALANAN PENDERITAAN

Bacaan : Markus 8 : 31-38

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus, ada seorang hamba Tuhan, namanya Fanny J Crosby, mungkin nama yang masih asing dengan kita. Tapi lagu-lagunya luar biasa menggema hingga sekarang ini. Contoh misalnya KJ 392 “Ku Berbahagia” atau KJ 26 “Mampirlah dengan doaku”. Kecintaannya kepada Tuhan Yesus memang luar biasa. Padahal latar belakang hidupnya, tidak seperti penyair atau pencipta lagu pada umumnya. Umumnya, orang yang mampu menciptakan lagu adalah mereka yang mempunyai indera tubuh yang tidak cacat, apalagi indera mata. Padahal Fanny Crosby ini adalah orang yang cacat mata atau buta pada waktu kecilnya. Karena keterbatasan biaya, John dan Mercy Crosby tidak mampu membiayai anaknya Fanny J Crosby ketika mendadak sakit panas. Apalagi dunia media tidak secanggih sekarang ini. Maka pada usia enam minggu, Fanny Crosby resmi mengalami kebutaan yang tidak mungkin tersembuhkan. Di tengah situasi keluarga yang sangat miskin, dan anaknya yang mengalami kebutaan, John dan Mercy Crosby tidak meninggalkan Tuhan, mereka menjadi keluarga Kristen yang taat. Mereka membesarkan Fanny menjadi anak yang mandiri. Keluarga besar Fanny pun sangat sayang kepadanya, meskipun mereka adalah keluarga yang miskin. Mendidik dan menyanyangi Fanny sepenuh hati. Nenek Fanny juga memperkenalkan karya sastra dan puisi, juga setiap hari neneknya membacakan Alkitab, sehingga menumbuhkan kecintaan Fanny kepada Yesus Kristus, hingga pada usia 10 tahun, Fanny sudah dapat menghafal sebagian besar Alkitab. Fanny yang mungil, tidak mengalami sekolah pada umumnya, karena memang belum ada sekolah luar biasa bagi kaum buta. Suatu hari Fanny berlutut bersama neneknya dan berdoa: “Tuhan yang Mahabaik, tunjukkan pada saya bagaimana saya dapat belajar seperti anak-anak lain.” Tak lama kemudian ibunya menyampaikan berita menggembirakan tentang kesempatan untuk masuk ke Institut Bagi Orang Buta di New York. Dalam tahun itu juga, ia menjadi siswi terbaik dan setelah lulus ia menjadi guru di situ. Minat utamanya pada puisi, pada waktu senggang ia menuliskan puisi. Ketika Fanny berumur dua puluh, ia terkenal di New York dan menjadi pembicara yang banyak dicari untuk kutipan-kutipan puisi maupun untuk upacara-upacara resmi. Walaupun populer, ia merasakan ada sesuatu yang kurang pada hidupnya, terjadinya wabah kolera yang hebat pada tahun 1849 menunjukkan padanya apakah itu. Lebih dari separuh siswa-siswi di Institut mati, salah satunya mati di pelukannya. Setelah membantu merawat mereka yang sakit selama beberapa bulan, ia hampir tertular oleh penyakit itu dan ia mengungsi ke luar kota. Kematian teman-teman dekatnya sangat mengguncangkan Fanny. Di lubuk hatinya, ia tahu bahwa ia belum siap untuk mati. Pada 20 November 1850 ia berlutut di depan mimbar gereja dan memberikan hatinya kepada Yesus. Penulis biografi Basil Miller menceritakan kata-katanya: “Untuk pertama kali saya menyadari bahwa saya telah mencoba memegang dunia di salah satu tangan dan Tuhan di tangan yang lain.”Akhirnya, Tuhan yang diperkenalkan oleh neneknya menjadi nyata baginya. Puisi-puisinya mencerminkan perubahan di hatinya, dan lagu-lagu pujian menggantikan puisi-puisinya. Ketika ia bertemu dengan komponis Kristen William Bradbury pada tahun 1864, segera mereka bersahabat. Bradbury membuat lagu-lagu bagi banyak syair-syair Fanny; walaupun ia bekerja dengan banyak komponis, kerjasama mereka yang paling erat. Fanny biasanya mengarang puluhan lagu di kepalanya sebelum ia mendiktekannya pada sekretarisnya, tetapi bagaimana pun ia mencipta, ia selalu menggunakan cara yang sama. Ia menyebutkan caranya: “Mungkin cara ini kuno, yaitu selalu memulai pekerjaan dengan berdoa, saya tak pernah menuliskan lagu tanpa meminta pada Tuhan untuk menjadi sumber inspirasi saya.” Ia menerima banyak undangan untuk berbicara hingga ia kewalahan, dan orang terkenal seperti Presiden Polk sering memanggilnya. Dengan memiliki banyak teman dan relasi, ia tak pernah merasa kesepian. Pada tahun 1858, Tuhan memberikan padanya seorang yang istimewa dalam kehidupannya, yaitu musisi buta Alexander Van Alstyne. Mereka menikah selama 44 tahun dan mempunyai seorang anak yang meninggal pada waktu bayi. Walaupun pada akhir masa-masa hidupnya, Fanny tetap sibuk seperti biasa, bukan hanya dengan menulis lagu. Ia menaruh perhatian pada mereka yang kurang beruntung, dan ia bekerja sukarela pada pusat pelayanan lokal. Bila ada seseorang yang datang padanya dengan pertanyaan atau keperluan, ia selalu menemuinya secara pribadi dan membagikan padanya terang Firman Allah. Semasa hidupnya, tentang kebutaannya seorang pendeta dengan rasa simpatik bertanya kepadanya, "Saya rasa, sungguh membangkitkan belas kasihan, bahwa Sang Pencipta tidak memberi Anda penglihatan, padahal Ia memberikan banyak sekali karunia lain pada Anda." Dengan tangkas Fanny menjawab, "Tahukah Anda, seandainya pada saat saya lahir saya bisa mengajukan permohonan, saya akan meminta, agar saya dilahirkan buta?" "Mengapa?" tanya pendeta itu terperanjat. "Karena bila saya naik ke surga nanti, wajah pertama yang akan membangkitkan sukacita dalam pandangan saya adalah wajah Sang Juruselamat!" Fanny wafat dengan tenang di rumahnya di Bridgeport, Connecticut, pada 12 Februari 1915. Kerumunan pada saat pemakamannya merupakan bukti pengaruhnya yang luas yang dimilikinya bagi Tuhan. Kata-kata ini berasal dari salah satu lagunya (Saved by Grace) yang menyatakan hal yang paling diharapkannya: “And I shall see Him face to face and tell the story – saved by grace. (Dan aku akan bertemu muka dengan-Nya dan menuturkan kisah - diselamatkan oleh anugerah.)” Kisah hidup Fanny Crosby penuh dengan penderitaan. Ia lahir dari keluarga miskin, menjadi anak yang buta, bahkan harus berhadapan dengan kematian yaitu kolera. Beruntung, ia mempunyai keluarga yang taat, yang senantiasa mengenalkan Yesus, yang mana itulah yang menolong Fanny Crosby bangkit dari apa yang dialaminya.

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus, jika ditanya, apakah kita mau hidup dalam penderitaan? Tentu kita akan menjawab, TIDAK!!! Ya, memang seringkali manusia menghindari penderitaan yang akan ditempuh dalam hidupnya. Maka berbagai cara akan dilakukan, dan dihalalkan, untuk terhindar dari penderitaan. Dunia pun dengan serta merta menawarkan berbagai upaya dan cara, agar manusia bisa lepas dari penderitaan yang dialaminya. Entah itu baik atau tidak baik, ditawarkan dunia ini. Atau, ketika manusia sudah terjerumus di dalam penderitaan yang dialaminya, dunia pun menawarkan cara-caranya. Jadi sebelum menderita dunia sudah menawarkan, dan ketika kita menderita dunia juga menawarkan cara-caranya, agar manusia segera lepas dari penderitaan secara instan. Kalau boleh memilih, mungkin Fanny Crosby ingin memilih jauh dari penderitaan, mungkin dengan cara bunuh diri, dengan cara minder, atau dengan cara-cara negative lainnya. Kenyataanya, dia tidak lari dari penderitaan, ia tetap pada hidup yang sudah digariskan Tuhan, yaitu hidup bagi kemuliaan nama Tuhan. Karena melalui hidup Fanny inilah, banyak orang disegarkan imannya, melalui lagu-lagu ciptaannya yang luar biasa, menggugah dan menyentuh iman.

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus, apa yang dialami Fanny J. Crosby, tidak jauh dengan apa yang dialami Tuhan Yesus Kristus. Sejak lahir pun, Tuhan Yesus sudah mengalami penderitaan, karena dikejar-kejar oleh Herodes. penderitaanNya berpuncak ketika ia wafat, dan itu merupakan penderitaan yang ngeri. Apakah Tuhan Yesus tidak berkuasa untuk lari dari penderitaan? Tentu Ia berkuasa atasnya. Namun Tuhan Yesus tidak memilih jalan menghindar dari penderitaan, tapi Ia tetap menjalani penderitaan hidupNya, demi menjadi kurban bagi manusia. Petrus sudah mengingatkan Tuhan Yesus, untuk menjauhi penderitaan (ayat 32), namun Tuhan Yesus tetap dengan keputusanNya, malahan memarahi Petrus karena ajakan Petrus untuk lari dari penderitaan (ayat 33). Dan karena penderitaanNya itulah, hidup manusia terbarukan. Sepenggal penderitaan yang kita alami, mungkin tidak sebanding dengan apa yang dialami Tuhan Yesus Kristus. Itulah juga yang dihayati oleh Fanny J. Crosby. Karena Tuhan Yesus sudah menderita bagi manusia, maka sepatutnyalah manusia hidup dalam perjuangan-perjuangan yang seperti dilakukan Tuhan Yesus, dimana perjuangan hidup bisa membuat manusia menderita. Fanny J. Crosby menjadi contoh nyata hamba Tuhan yang berjuang di dalam penderitaan, bukannya menghindar dari penderitaan yang dialaminya.

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus, lalu bagaimanakah dengan kita anak-anak Tuhan? Sanggupkah kita hidup dalam perjuangan ini, yang penuh dengan penderitaan? Atau kita tergiur dengan ajakan untuk menghindar dari penderitaan kita sebagai pengikut Kristus? Tuhan Yesus mengingatkan kita pada ayat 34-38, secara khusus Ia menegaskan, bahwa “setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut AkuI”. Mengikut Tuhan Yesus artinya harus berani memanggul salib. Salib itu adalah symbol penderitaan. Artinya, mengikut Tuhan Yesus harus siap hidup dalam penderitaan. Mungkin kita bisa dikatakan “gila” karena mengikut Tuhan, karena itulah konsenkwensinya. Paulus mengingatkan dalam Roma 12 : 2, agar kita tidak serupa dengan dunia ini. Itulah upaya meminggul salib, tidak serupa dengan dunia. Lalu seperti apakah dunia ini? Dunia menawarkan hal-hal yang indah dan menarik untuk dilakukan, sebagai upaya untuk lari dari penderitaan, tidak memikul salib kita, seperti halnya perselingkuhan, kemarahan, dengki, dendam, korupsi, percabulan, mabuk dan pesta pora, narkoba, kata-kata kotor, dan lain sebagainya. Masih banyak lagi.

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus, maukah kita memanggul salib kita? Maukah kita hidup menderita bagi Tuhan Yesus? Marilah kita hidup dengan Roh Tuhan yang ada pada kita, seperti halnya kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Kita upayakan hidup dekat dengan Tuhan, dengan senantiasa beribadah kepada Dia, apapun dan bagaimanapun rintangannya, kita senantiasa mengucapkan syukur dengan memberikan persembahan yang layak bagiNya, dan senantiasa mengenalkan Injil kepada keluarga kita,, seperti halnya keluarga Fanny, juga kepada orang yang belum mengenalnya. Inilah tugas panggilan kita, untuk hidup dalam perjalanan penderitaan. Dia sudah menderita bagi kita, saatnya kita menderita bagiNya, dengan memikul salib kita sendiri. Tuhan Yesus memberkati.


Wiladeg, 02 Maret 2012


Related Post:

0 komentar:

 
ans!!